Medan – Keberadaan petani cerdas iklim sangat dibutuhkan untuk mewujudkan swasembada pangan nasional.
“Perubahan iklim akan menyulitkan para petani pangan untuk menentukan masa tanam dan panen,” papar Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Tanaman Pangan Hortikultura dan Pengawasan Mutu Keamanan Pangan (PTPH dan PMKP) Sumut, H Marino, di Gedung Perpustakaan Universitas HKBP Nommensen, kawasan Jalan Dr Sutomo Medan, akhir pekan lalu.
Berdasarkan prakiraan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, lanjutnya, sebagian wilayah Sumut bakal memasuki puncak musim kemarau pada Juni 2025. Sejumlah upaya telah dilakukan institusi pemerintah di bawah naungan Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Ketapang TPH) Sumut ini untuk meminimalisir Dampak Perubahan Iklim (DPI), baik saat lahan pertanaman kebanjiran maupun kekeringan.
“Kita berkoordinasi dengan pihak BMKG untuk mengetahui kondisi iklim, menginstruksikan personil POPT (Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman, red) di kabupaten/kota melaporkan secara rutin kondisi pertanaman, menyarankan para petani, khususnya tanaman padi, mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi, serta memberikan bantuan benih padi yang tanamannya mengalami puso akibat bencana alam itu,” tutur Marino.
Pihaknya juga membuat sumur dangkal di lahan pertanaman yang terdampak kekeringan dan menyiagakan pompa air di Brigade La Nina untuk dipinjam kelompok tani yang membutuhkannya. Begitu juga bagi lahan pertanaman yang terdampak banjir, kata Marino, dilaksanakan Gerakan Penanganan (Gernang) DPI dengan melibatkan masyarakat di areal pertanaman dimaksud.
“Ini semua kita lakukan untuk mengamankan target produksi, khususnya padi, Sumatera Utara pada tahun 2025 sebanyak 7.799.167 ton Gabah Kering Giling, setara dengan 4.913.475 ton beras dari kebutuhan beras masyarakat sebanyak 1.749.763 ton,” ujarnya.
Sementara, Field Coordinator CDRM & CDS wilayah Mentawai, Fared Sirileleu, berbagi pengalaman seputar sistem pertanian di wilayah kerjanya yang masih bergantung pada perladangan tradisional. Padahal, mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian.
“Masih bersifat tradisional, tanpa irigasi, pupuk atau pun pestisida, sehingga rentan dengan perubahan iklim,” ungkapnya saat menjadi pembicara.
Kendati demikian, para petani setempat telah melakukan aksi adaptasi berupa manajemen lahan, pelatihan penggunaan pupuk organik, pembuatan embung sebagai sumber air, pendampingan petani dan budidaya tanaman tahan kekeringan.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen, Dr Hotden L. Nainggolan, berharap, workshop ilmiah yang bekerjasama dengan Center for Disaster Risk Management & Community Development Studies (CDRM & CDS), pada Dies Natalis ke-41 tahun Faperta ini mampu meningkatkan pengetahuan serta kompetensi mahasiswa.
“Harapan kita para mahasiswa dapat bercerita kepada masyarakat disekitarnya tentang pertanian cerdas ini untuk meminimalisasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian,” tandasnya. Fey