|

Distribusi Pupuk Bersubsidi Jadi BLT? Tidak Mudah Jenderal!

Kabid Sarana Prasarana Dinas Ketapang TPH Sumut, Heru Suwondo, bersama stafnya, Desa Mandasari, saat melakukan monitoring pupuk bersubsidi di salah satu kios pengecer kawasan Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat, beberapa waktu lalu. Foto Ist

Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di akhir Juli 2024 silam, mengusulkan perubahan sistem pendistribusian pupuk subsidi dari Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (E-RDKK) ke Bantuan Langsung Tunai (BLT). Waduh!

Karut-marut pendistribusian pupuk bersubsidi di negara ini tidak kunjung terselesaikan. Beragam kebijakan telah diterapkan untuk membenahi tata-kelola pendistribusiannya. Hanya saja, masih banyak petani yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi. Teranyar, pihak Kementerian Pertanian, dalam hal ini Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), meluncurkan aplikasi i-Pubers yang berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) di KTP petani. Dengan kata lain, setiap petani akan semakin mudah untuk mendapatkan pupuk bersubsidi di kios pengecer. Suatu solusi yang selama ini kerap dikeluhkan banyak petani saat hendak mendapatkan pupuk bersubsidi untuk pertanamannya.

Melalui i-Pubers, setiap transaksi penebusan pupuk bersubsidi tercatat secara realtime, mengingat, aplikasi ini dilengkapi geo-tagging dan timestamp untuk memudahkan pencatatan transaksi dan penelusuran. Tidak hanya itu, i-Pubers juga akan meningkatkan transparansi dan akurasi dalam menentukan penerima pupuk bersubsidi serta pergerakan stok pupuk bersubsidi di tingkat kios pengecer. Alhasil, aplikasi ini menjadi harapan pemerintah untuk membenahi tata-kelola pupuk bersubsidi agar mampu mewujudkan prinsip 6T, yakni Tepat mutu, Tepat jumlah, Tepat jenis, Tepat harga, Tepat waktu dan Tepat tempat.

Namun, saat pembenahan terus diupayakan, muncul wacana dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengubah tata-kelola pupuk bersubsidi menjadi sistem Bantuan Langsung Tunai (BLT), mirip dengan bantuan untuk keluarga miskin yang selama ini telah bergulir. Caranya, setiap petani harus memiliki rekening bank sendiri, sehingga setelah menerima transfer uang bantuan pemerintah, bisa membeli pupuk non-subsidi untuk kebutuhan pertanamannya. 

Sebenarnya, wacana tersebut memang lebih tepat sasaran dan efektif. Mekanisme distribusi akan lebih sederhana karena petani tidak perlu lagi harus menunggu ketersediaan pupuk di kios pengecer resmi. Istilahnya, tinggal membeli pupuk. Apalagi, selama ini masih banyak petani yang tidak mendapatkan pupuk bersubsidi karena tidak terdaftar di e-RDKK. Tentunya, dengan beragam alasan.

Perhitungan besaran subsidi juga bisa lebih valid dengan data jumlah petani yang berhak mendapatkan bantuan tersebut, bila sistem BLT diterapkan. Tapi, purnawirawan Jenderal TNI kelahiran Simargala Silaen Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara, 28 September 1947 ini mungkin melupakan pola hidup masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif. Dikhawatirkan, uang bantuan yang ditransfer langsung ke rekening setiap petani, bukan digunakan untuk membeli pupuk, justru memanjakan prilaku konsumtif para penerimanya tersebut.

Jurnal Online Mahasiswa Strata-1 Universitas Negeri Surabaya pernah menerbitkan penelitian mahasiswa seputar gaya hidup konsumtif penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Rejosari Kecamatan Kalidawir Kabupaten Tulungagung Provinsi Jawa Timur. Warga di desa penerima bantuan PKH terbanyak kedua di Kabupaten Tulungagung itu justru memanfaatkan dana bantuan untuk membeli harta-benda, bukan membiayai pendidikan dan kesehatan keluarganya. Pemicu prilaku konsumtif itu sederhana, yakni tidak ingin kalah bersaing dengan para tetangga yang kerabatnya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Selain itu, kelemahan penerapan sistem BLT untuk pupuk bersubsidi berada pada data penerima yang belum akurat. Minimnya basic data seputar petani yang berhak menerima bantuan, menjadi alasan tersendiri untuk tidak mengubah tata-kelola pupuk bersubsidi ke sistem BLT. 

Tak bisa dipungkiri, saat ini lebih dibutuhkan akurasi data petani penerima bantuan agar validitasnya teruji, ketimbang mengubah tata-kelola pupuk bersubsidi. Berbagai kelemahan yang ada, mengakibatkan sistem BLT dalam tata-kelola pupuk bersubsidi di negeri ini belum memungkinkan untuk diterapkan. Dan, untuk mengubah tata-kelola pupuk bersubsidi ke sistem BLT, memang tidak mudah, Jenderal! Fey

Komentar

Berita Terkini