Medan – Kemarau panjang yang melanda sebagian wilayah Sumatera Utara (Sumut) berdampak pada penurunan produksi cabai merah, sehingga mengakibatkan kenaikan harga yang menjadi salah satu faktor pemicu provinsi ini mengalami inflasi tertinggi di Indonesia pada September 2025.
“Produksi cabai merah, terutama dari Kabupaten Karo sebagai salah satu sentra pertanaman cabai merah di Sumatera Utara, turun signifikan dibanding tahun lalu akibat kemarau panjang yang melanda sepanjang tahun 2025,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura (Ketapang TPH) Sumut, H Rajali, melalui Kepala Bidang Tanaman Hortikultura, Lambok Turnip SP MAgr, saat dihubungi, Kamis (16/10/2025).
Sebagai perbandingan, lanjutnya, produksi cabai merah di Kabupaten Karo pada tahun 2024 mencapai 71.663,95 ton dengan luas panen 6.041,50 hektar. Di tahun 2025, kata Turnip, hingga 15 Oktober 2025, produksi cabai merah petani di daerah itu hanya berkisar 38.293,45 ton.
Dikemukakannya, penurunan produksi juga dialami kabupaten yang menjadi sentra pertanaman cabai merah. Kabupaten Simalungun, misalnya, pada tahun 2025 hanya menghasilkan 35.970,20 ton cabai merah dari tahun sebelumnya mencapai 47.537,20 ton. Begitu juga Kabupaten Dairi, dari 11.075,80 ton pada 2024, menyusut menjadi 5.803,35 ton di tahun 2025. Hal serupa juga dialami Kabupaten Tapanuli Utara yang menghasilkan 3.662,01 ton pada 2025 dari tahun sebelumnya mencapai 8.500,24 ton, serta produksi cabai merah dari Kabupaten Batubara sebanyak 16.661,78 ton (2024) menyusut menjadi 2.837,85 ton (2025).
"Meski mengalami penurunan produksi, sebenarnya secara keseluruhan masih surplus karena cabai merah yang dihasilkan petani Sumatera Utara juga dijual ke provinsi terdekat, seperti Riau, Batam dan Aceh, sehingga pasokan untuk masyarakat lokal terbatas yang akhirnya membuat harga cabai merah mahal," paparnya.
Pernyataan Turnip tersebut berdasarkan prakiraan produksi dan kebutuhan pangan strategis di Sumut, khususnya cabai merah, kurun waktu Januari-Oktober 2025. Disebutkannya, produksi cabai merah bulan Juli sebanyak 20.725 ton dari kebutuhan 10.247 ton. Selanjutnya, produksi Agustus sebanyak 18.897 ton dari kebutuhan 10.247 ton, September sebanyak 22.787 ton dari kebutuhan 9.917 ton, dan Oktober sebanyak 17.152 ton dari kebutuhan 10.247 ton.
"Selain kemarau panjang di dataran tinggi menjadi faktor utama menurunnya produksi cabai merah, masa panen di beberapa daerah juga sudah selesai," ujarnya.
Dicontohkannya para petani cabai merah di Kabupaten Batubara yang saat ini sedang menyemai bibit untuk ditanam kembali pada November.
"Karena belum masuk musim panen berikutnya, termasuk cabai merah yang dijual keluar Sumatera Utara, pasokan cabai merah menjadi berkurang, sehingga harga naik,” tuturnya.
Secara terpisah, salah seorang ibu rumah tangga di Kota Medan, L. Br Sitohang, membenarkan mahalnya harga cabai merah tersebut hingga mencapai Rp100 ribu perkilogram (kg).
“Biasanya saya beli Rp10.000 per ons. Sekarang mahal sekali, jadi terpaksa beralih ke cabai caplak atau cabai rawit kecil yang rasanya lebih pedas,” keluhnya.
Sekadar informasi, Gubernur Gubsu Bobby Nasution sebelumnya mendapat teguran dari pihak Kementerian Dalam Negeri karena pada September 2025, Sumut menjadi provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia, mencapai 5,32 persen (year-on-year/yoy). Salah satu penyebab utama tingginya inflasi tersebut karena melambungnya harga cabai merah. Fey