Analis BPSPL Padang, Monika Pinem menjadi pemateri dalam dialog interaktif bertajuk 'Save Our Shark' di STPK Matauli, Pandan Kabupaten Tapteng, Sumut, Senin (02/03/2020). Foto Ist |
"Setiap hari, Kota Sibolga sebagai sentra pengumpul di Pantai Barat Sumatera mendapat pasokan beragam hiu dari berbagai daerah, seperti Aceh dan Padang, termasuk mungkin, hiu yang sebenarnya dilindungi," ungkap Analis Balai Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, Monika Pinem saat menjadi pemateri dalam dialog interaktif bertajuk 'Save Our Shark' di Audio Visual Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPK) Matauli, Pandan, Kabupaten Tappanuli tengah (Tapteng), Senin (02/03/2020).
Ia menilai, kondisi itu terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya, pendataan terhadap jenis hiu yang masih minim. Apalagi, pemasok hiu umumnya bersifat perorangan, sehingga sulit mengetahui secara pasti data seputar hiu pasokannya tersebut.
"Sampai sekarang, kita masih kesulitan mengidentifikasi asal dan jenis ikan hiu yang dipasok ke Kota Sibolga," akunya lantas menambahkan, terdapat sekira 500 spesies hiu di dunia dan 119 diantaranya berada di lautan Indonesia.
Selain itu, kata Monika, perburuan secara terus-menerus terhadap hiu tidak sebanding dengan tingkat reproduksi predator laut tersebut. Untuk hiu Martil, misalnya, memiliki usia reproduksi sekira sembilan tahun. Bahkan, usia reproduksi hiu Beton mencapai 15 tahun.
"Sudah saatnya ada upaya perlindungan terhadap hiu di Pantai Barat Sumatera agar tidak punah, terutama hiu endemik yang hanya ada di Pantai Barat Sumatera," tegas Monika dihadapan puluhan peserta acara yang digelar Earth Hour Medan bekerjasama dengan Komunitas Menjaga Pantai Barat (Komantab) dan STPK Matauli itu.
Diakuinya, upaya perlindungan membutuhkan kemampuan mengidentifikasi spesies hiu agar diketahui dilindungi atau tidaknya ikan tersebut. Namun, hingga kini masih sedikit yang tertarik menggeluti bidang itu.
"Contohnya di Sibolga yang menjadi sentra pengumpul hiu, masih banyak masyarakatnya yang tidak tahu spesies hiu," tukas Monik.
Dari sisi kesehatan, lanjutnya, hiu juga mengandung merkuri yang tergolong tinggi dan berbahaya bila dikonsumsi manusia. "Itu hasil penelitian pihak WHO dan pemerintah Amerika Serikat sudah melarang warganya untuk mengonsumsi hiu," tuturnya.
Puluhan peserta mengikuti acara dialog interaktif bertajuk 'Save Our Shark' di STPK Matauli, Pandan, Kabupaten Tapteng, Senin (02/03/2020). Foto Ist |
"Padahal, hiu menempati puncak rantai makanan, dan bertugas menyeimbangkan alam sekaligus menjadi indikator kesehatan alam," paparnya.
Pada kesempatan itu, pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Wilayah III, diwakili Gunawan menyatakan, kerusakan ekosistem laut menjadi salah satu pemicu keterancaman bagi makhluk hidup secara global. Bila dibiarkan, kerusakan laut akan menular ke ekosistem lainnya.
Menurutnya, upaya konservasi terhadap hiu semakin mendesak untuk dilakukan dengan melibatkan institusi terkait. "Hiu saat ini dalam kondisi kritis," ujarnya.
Pendapat itu disambut positif perwakilan Komantab, Hadi Sitanggang. Ia mengingatkan pentingnya langkah sosialisasi berkelanjutan, mengingat Sibolga sebagai daerah pemasok hiu.
"Sosialisasi satwa dilindungi seperti hiu bisa dilakukan secara persuasif, bahkan bekerjasama dengan pihak-pihak yang langsung bersentuhan dengan hiu," usulnya.
Hal senada dikemukakan Eko Sihombing, mewakili pihak Polres Tapteng. Ia mengimbau seluruh pihak untuk proaktif dalam upaya perlindungan ekosistem laut, termasuk hiu.
"Kerusakan ekosistem laut, termasuk disebabkan penangkapan ikan dengan cara tak ramah seperti pukat trawl," tandasnya. Ril