|

Corona Datang, Nilai Keislaman Terancam Hilang

Foto ilustrasi. Foto Fey
Penyebaran virus Corona semakin meluas dan telah menyebar ke 119 negara. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19, nama resmi penyakit yang disebabkan virus Corona, sebagai pandemi. Ironisnya, kehebohan itu justru berimbas pada nilai-nilai keislaman.

Sadikin masih duduk termangu di pinggir areal persawahan kawasan Dalu X Kecamatan Tanjungmorawa Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang disewanya selama dua kali musim tanam. Sesekali, pria berusia sekira 52 tahun itu menghela nafasnya.

"Aku ora weruh soal Corona kae, mas (bahasa Jawa kasar yang artinya aku tidak tahu soal penyakit Corona itu, mas, red)," ujarnya saat ditanya seputar Corona Virus Desease (Covid)-19, akhir pekan lalu.

Ia mengaku banyak mendengar larangan terkait keberadaan Covid-19 itu. Namun, tidak satu pun yang ditaatinya karena bertentangan dengan akidahnya sebagai seorang muslim. Alasannya sederhana, ajal telah ditentukan oleh Sang Pencipta, sehingga, selain telah menjaga kebersihan diri melalui pola hidup sehat dan membawa sajadah sendiri, pasrah menjadi sikap terbaik dalam menghadapi situasi rumit seperti sekarang.

Bukan berarti, virus yang menyerang sistem pernapasan sehingga terganggu dan berpotensi merenggut nyawa seseorang seperti Covid-19 tidak menggetarkan hatinya. Namun, akidahnya telah mengajarkan, sunnah bersalaman sembari mengucapkan salam, saat bertemu dengan sesama muslim, terutama usai menunaikan sholat berjamaah.

Tak pelak, ia hanya mampu memendam amarahnya, saat beberapa warga yang juga jamaah Masjid di desanya, mulai menolak bersalaman. Bahkan, beberapa jamaah yang sebelumnya menyempatkan diri untuk berzikir, melantunkan ayat suci Al-Qur'an atau pun sekadar bercengkrama sembari menanti sholat fardhu berikutnya, kini seakan terburu-buru meninggalkan Masjid. Alhasil, Masjid semakin sepi dan seakan kehilangan ruhnya sebagai rumah ibadah. Bisa jadi, tidak berselang lama, bakal ada larangan untuk menunaikan sholat berjamaah di Masjid.

Padahal, bersalaman merupakan sunnah yang disyariatkan sekaligus adab mulia para sahabat Radhiyallahu Anhu. Imam Bukhâri Rahimahullah dalam Bab berjudul Babul Mushafahah (bersalaman, red) Kitab Al-Isti’dzân menjelaskan sunnahnya bersalaman ketika sesama muslim bertemu. Dari Qatadah Radhiyallahu Anhu, ia berkata; “Saya bertanya kepada Anas (bin Mâlik) Radhiyallahu anhu, apakah berjabat tangan dilakukan di kalangan para sahabat Rasulullah SAW? Beliau menjawab ya.

Begitu juga dalam hadits riwayat Hudzaifah bin al-Yaman, Rasulullah SAW bersabda, seorang muslim yang saling bertemu dan mengucapkan salam, kemudian berjabat tangan, maka dosa-dosanya akan berguguran, sebagaimana gugurnya daun-daun pepohonan yang kering. Mayoritas umat muslim juga mungkin lupa, di zaman Rasulullah SAW juga pernah terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya.

Isolasi terhadap penderita menular menjadi solusi Rasulullah SAW untuk menghadapi masalah pelik tersebut. Baik penderita maupun warga yang sehat dilarang meninggalkan wilayah itu. Menariknya, dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya).

Ironisnya, ketakutan akan tertular Covid-19 telah menguburkan hal itu. Benak ratusan juta umat muslim di negeri ini hanya dijejali cara untuk menghindarkan diri dari serangan Covid-19. Tidak lebih dari itu. Setidaknya, kepasrahan Sadikin terhadap Sang Pencipta bisa menjadi perenungan kita agar kembali berpikir-ulang untuk tidak serta-merta mengikuti setiap imbauan atau pun larangan, meski hal itu bertentangan dengan akidah, agar nilai keislaman tetap terjaga.

Kini, Sadikin tetap setia menunaikan sholat berjamaan di Masjid, meski shaf (barisan jamaah dalam sholat, red) kian menyusut. Ia juga berupaya setia mengulurkan tangan untuk bersalaman, kendati mayoritas jamaah tetap menolaknya. feywahyudi73@gmail.com
Komentar

Berita Terkini